Jumat, 04 Maret 2011

HUKUM PERBURUHAN

MATERI B

HUBUNGAN PERBURUHAN

Saat ini, Kedudukan buruh di Indonesia masih sering dianggap rendah dan juga masih sering dicurangi oleh para pengusaha. padahal mereka dilindungi oleh undang-undang namun mereka sering merasa kalau mereka menuntut hak nya maka mereka akan dipecat dan tidak bisa mencari nafkah untuk keluarga nya lagi.

Maka dari itu, pemerintah khususnya pemda harus membuat yang jelas dan juga menguntungka bagi kedua belah pihak. Agar tidak terjadi lagi salah satu pihak tidak menjalankan kewajiban nya dan salah satu pihak tidak mendapatkan hak nya.


Hubungan Perburuhan adalah hubungan antara unsur – unsur dalam produksi yaitu buruh, pengusaha dan pemerintah, yang didasarkan pada nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila, inti dari pola hubungan perburuhan Pancasila adalah bahwa setiap perselisihan perburuhan yang terjadi harus diupayakan diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ada tiga asas yang digunakan yaitu :
Dimana buruh dan pengusaha mempunyai kepentingan yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan buruh mampu meningkatkan hasil usaha/ produksi. Hal ini tercermin dalam system ci-determination.

Hasil yang dicapai perusahaan itu seharusnya bukan untuk dinikmati oleh pengusaha saja, tetapi harus dinikmati oleh buruh yang turut serta dalam mencapai hasil produksi tersebut.
mungkin dihindari dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Hubungan perburuhan di Indonesia biasanya identik dengan hubungan antara majikan dengan buruh, yaitu antara kedua belah pihak yang saling membutuhkan dan saling tergantung antara satu dengan yang lain. Namun pada hakekatnya posisi buruh sering kali berada pada posisi yang lemah di mata majikannya dan juga tidak dianggap sebagai mitra didalam pekerjaan itu sendiri. Buruh sering kali dianggap sebagai sebuah objek bagi majikan untuk melaksanakan kepentingan mereka (majikan).
Demikian juga para buruh, majikan mereka tidak lebih dari sekedar orang yang memperkerjakan mereka dan membayar upah mereka. Para buruh pada masa kini tidak mao mengenal lebih jauh tentang data diri majikan yang memberi pekerjaan tersebut, oleh karena itu pada masa kini sering terjadi perselisian antara buruh dengan majikan yang di karenakan tidak adanya saling mengenal lebih jauh tentang si pemberi kerja (majikan) dengan si pekerja (buruh), sering terjadi unjuk rasa yang di karenakan tidak ada kepuasan diantara majikan dalam bentuk hasil pekerjaan yang kurang memuaskan ataupun hasil yang kurang maksimal serta di pihak buruh yang merasa upah mereka terlalu kecil.




Maka didalam hal ini pemerintah harus membuat peraturan yang jelas dan menguntungkan bagi kedua belah pihak, supaya tidak ada perselisian lagi di kemudian hari. Hal ini departemen yang berkaitan dengan perburuhan dapat melakukan perlindungan bagi para pemberi kerja (majikan) dan buruh itu sendiri.
Untuk mengeoperasikan Hubungan Perburuhan Pancasila tersebut, telah ditetapkan berbagai sarana yaitu :
•Lembaga Bipartite / Tripartite
Melalui Lembaga Bipartite/Tripartite, setiap perselisihan yang terjadi dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian perselisihan melalui Lembaga Bipartite berarti penyelesaian yang dilaksanakan melalui dua pihak,yaitu Buruh dan Pengusaha (secara intern). Penyelesaian melalui lembaga Tripartite berarti mengundang pihak pemerintah untuk ikut serta menyelesaikan perselisihan yang terjadi secara musyawarah untuk mufakat.
•Kesepakatan Kerja Bersama (Perjanjian Perburuhan)
Melalui perjanjian perburuhan para pihak yang terkait dalam phubungan kerja mengetahui secara jelas apa yang menjadi hak dan kewajibannya sehingga dengan demikian dapat diharapkan mencegah timbulnya perselisihan.
•Peradilan Perburuhan
Melalui peradilan perburuhan, setiap perselisihan yang timbul dapat diselesaikan secara damai, sehingga kemungkinan untuk mogok / lock-out dapat dicegah sedini mungkin.
•Peraturan Perundang – undangan Perburuhan
Peraturan perundang – undangan perburuhan mutlakdiperlukan dan harus dapat mengakomodasi semua kepentingan pekerja maupun pengusaha, sehingga dengan demikian kepastian hokum dapat tercipta dan dapat mengurangi terjadinya perselisihan perburuhan yang dapat menimbulkan tindakan mogok/lock-out.
•Masalah khusus yang harus diperhatikan yaitu masalah upah dan masalah pemogokan.
Melalui penanganan / pengaturan masalah pengupahan secara memadai, akan mengurangi timbulnya perselisihan peruruhan yang berkaitan dengan masalah upah. Demikian pula masalaah pemogokan yang pada hakekatnya merupakan penyelesaian perselisihan pekerja secara tidak damai, sedapat mungkin dihindari dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.





1. Lembaga Bipartite / Tripartite : Penyelesaian perselisihan melalui Lembaga Bipartite berarti penyelesaian yang dilaksanakan melalui dua pihak,yaitu Buruh dan Pengusaha (secara intern)
2. Kesepakatan Kerja Bersama (Perjanjian Perburuhan) : Disini para buruh dan pengusaha berusaha mengetahui hak dan kewajiban masing-masing agar mencegah perselesihan dalam mufakat
3. Peradilan Perburuhan : Mempunyai peraturan-peraturan yang harus ditaati sehingga kepastian hokum dapat tercipta dan dapat mengurangi terjadinya perselisiahan dan tindakan mogok
4. Peraturan Perundang – undangan Perburuhan : Melalui peradilan perburuhan, setiap perselisihan yang timbul dapat diselesaikan secara damai
5. Pendidikan Perburuhan : Melalui pendidikan perburuhan, baik pekerja maupun pengusaha sadar akan hak dan kewajibannya, sehingga dengan demikian dapat ditekan sedemikian rupa terhadap terjadinya perselisihan perburuhan
6. Masalah khusus yang harus diperhatikan yaitu masalah upah dan masalah pemogokan : Melalui penanganan / pengaturan masalah pengupahan secara memadai, akan mengurangi timbulnya perselisihan peruruhan yang berkaitan dengan masalah upah

MATERI A, PENGERTIAN&RUANG LINGKUP PERBURUHAN

MATERI A

PENGERTIAN&RUANG LINGKUP PERBURUHAN

Ruang lingkup perburuhan banyak kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari ada 3 pembahasan:
1. Permasalahan Hukum Perburuhan yang dilihat dari Ilmu Kaedah Hukum Perburuhan
2. Dilihat dari Ilmu Pengertian Hukum Perburuhan
3. dan Dilihat dari Filsafat Hukum Perburuhan.
Apabila ditinjau dari Ilmu Kaedahnya, permasalahan yang timbul dari Hukum Perburuhan mencakup beberapa kaedah Hukum Perburuhan.
Yang paling pertama dilihat dari segi kaedah Otonom yang berarti ketentuan arau syarat hubungan kerja yang dijalin, diluar antara pihak terkait.
Lalu yang ke dua kaedah Heteronom, dimana semua peraturan perburuan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Tetapi jika ketentuan Hubungan Kerja tersebut tidak dibuat langsung oleh pihak terkait, atau lebih kurangnya akan terjadi penyimpangan penyimpangan yang mayoritas nantinya akan merugikan pihak dari buruh tersebut.
Dan apabila dilihat dari segi filsafatnya Hukum Perburuhan tidak lepas dari keserasian nilai nilai atau norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dan dalam dunia usaha, kemajuan yang akan dicapai sebuah perusahaan sebaik mungkin akan dinikmati baik oleh buruh ataupun pengusaha itu sendiri secara proporsional.
Dengan kemampuan yang dimiliki oleh para pekerja diharapakan kemajuan yang dicapai sebuah perusahaan dapat dinikmati bersama antara buruh dan perusahaan itu sendiri.
Norma lain yang bisa kita lihat yaitu bahwa pengusaha ataupun buruh memiliki nilai nilai kebebasan masing masing dalam menggunakan hak ataupun dalam melaksanakan kewajibanya sebagai mana mestinya.


PERLINDUNGAN
1. tenaga kerja behak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan dan pemeliharaan moral kerja sesuai martabat manusia.
2. Tenaga kerja berhak atas jaminan social tenaga kerja yang terdiri dari jaminan kecelakaan dalam bekerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, serta jaminan pemeliharaan kesehatan.

SEJARAH HUKUM PERBURUHAN
Pada awalnya hukum perburuhan termasuk dalam hukum perdata yang diatur dalam BAB VII A buku III KUHP tentang perjanjian kerja. Setelah Indonesia merdeka, hukum perburuhan di Indonesia mengalami perubahan dan penyempurnaan yang akhirnya terbit UU No.1 tahun 1951 tentang berlakunya UU No.12 tahun 1948 tentang kerja, UU No.22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok ketenagakerjaan dan lain-lain.

Dalam ruang lingkup waktu :

a. Sebelum Hubungan Kerja terjadi, seperti pengarahan akan ditempatkan sebagai apa dan mempunyai otoritas yang bagaimana.
b. Pada saat hubugnan kerja terjadi, seperti gaji (upah) yang tentunya sudah disepakati sebelum teken kontrak antar pekerja dengan perusahaan.
c. Sesudah hubungan kerja terjadi, misalnya pembayaran uang pensiun, pembayaran uang pesangon, santunan kematian dan sebagainya.

WAKTU ISTIRAHAT
- istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja .
- istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.


PEKERJA PEREMPUAN
- Pekerja perempuan dilarang dipekerjakan pada malam hari dan pada tempat yang tidak sesuai kodrat dan martabat.
- Pekerja perempuan tidak diwajibkan bekerja padahari pertama dan kedua waktu haid.
- Pekerja perempuan yang masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya menyusui bayinya pada jam kerja .


PERLINDUNGAN
1. tenaga kerja behak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan dan pemeliharaan moral kerja sesuai martabat manusia.
2. Tenaga kerja berhak atas jaminan social tenaga kerja yang terdiri dari jaminan kecelakaan dalam bekerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, serta jaminan pemeliharaan kesehatan.


PERHITUNGAN UANG PESANGON
- masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
- masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
- masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
- masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
- masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
- masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
- masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
- masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;